Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.
Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah. 
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya. 
“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)
Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang. 
Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.
La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.
La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.
La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.
La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.
La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.
La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.
~ Hamzah Fansuri ~

 
 Nama ulama Hamzah Fansuri As-Singkili sangat dikenal di nusantara ini. 
Makam beliau masih ramai dikunjungi para penziarah yang datang dari 
berbagai daerah. Makam beliau berada di kampong Obor terletak di Hulu 
Sungai Singkil. 
Makam itu bertulis : Inilah makam Hamzah Fansuri mursit Syeikh 
Abdurrauf. Dikatakan Hamzah Fansuri wafat sekitar 1016H/1607M.Nama 
beliau lah menjadi salah satunya yang membawa Aceh menjadi Serambi 
Mekah. Menurut A.Hasymi yang juga berasal dari Acheh, Hamzah Fansuri dan
 Ali Fansuri yang juga merupakan ayah kepada Abdul Rauf Fansuri adalah 
adik beradik.Kedua bersaudara ini berketurunan Parsi. Datuk nenek 
keduanya, Syeikh Al-Fansuri dipercayai oleh kerajaan memimpin pusat 
pendidikan yang bernama Daya Blang Pria.
Adapun mengenai riwayat hidup Hamzah Fansuri As-Singkili para sarjana 
berbeza pendapat kerana tidak diketahui secara pasti tempat dan bila 
tarikh lahirnya. Akan tetapi berdasarkan fakta sejarah yang ada, Hamzah 
Fansuri diperkirakan hidup pada abad ke-16 saat Aceh di bawah 
pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil (997-1011 H/
 1589-1604 M).
Dari nama belakangnya “Fansur” dapat kita ketahui bahwa ia berasal dari 
Barus, kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, 
daerah pesisir Barat pulau Sumatera itu bila diterjemahkan ke dalam 
bahasa Arab menjadi “Fansur”. Sebagaimana tertulis dalam syairnya 
“Burung Pingai”;
Hamzah Fansuri di Negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu.
‘Kapur’ ini sama maknanya dengan ‘Barus’. Dari sinilah tercipta kosa 
kata majmuk “kapur barus". Disebut lebih terperinci oleh A.Hasymi bahawa
 Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong
 Telaga (Aceh Selatan). Pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam,  kampung 
Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh 
Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa Hamzah Fansuri dilahirkan di 
Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. 
Dikatakan ayah Hamzah Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan 
Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637-1687M) meninggal dunia dalam 
pertempuran melawan orang Annam di Phanrang. Syeikh Ismail Aceh itu 
pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi. 
Hamzah Fansuri As-Singkili tercatat dalam lintasan sejarah peradaban 
Aceh merupakan salah seorang sufi sekaligus sasterawan terkemuka yang 
tiada taranya dalam menulis karya-karya kesusasteraan Melayu. Beliau 
adalah Hamzah Fansuri yang buku-bukunya sering disebut dalam manuskrip 
kuno “Sejarah Melayu” (Melayu Annals) seperti “Durrul Manzum” (Benang 
Mutiara) dan “Al-Saiful Qati” (Pedang Tajam). Dengan syair-syairnya yang
 berunsur sufistik dan kontekstual telah memberi pengaruh luar biasa 
bagi cendekiawan Melayu untuk membina dan mengembangkan bahasa Melayu 
menjadi bahasa seni budaya, bahasa ilmu pengetahuan, bahkan bahasa 
antarabangsa disebelah dunia Timur.
Syair-syair Hamzah Fansuri merupakan karangan mistik Islam yang 
berhakikat makrifat jami’a bainahuma, yakni ilmu yang melingkupi dan 
menghubungkan wujud fenomenal/wahmi dan wujud kesegalaan. Tulisannya 
menghuraikan tasawuf klasik secara eksplisit dan signifikan, diperkemas 
dalam bahasa Melayu seperti “Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk 
wat-Tauhid”, “Syaraabul Asyiqin”, dan “Al-Muntahi”. Betapa banyak 
perbendaharaan kosa kata Melayu yang ditambahnya selain melakukan 
pembaharuan di bidang logika dan mantiq yang bertalian dengan pemikiran 
dalam masalah bahasa. 
Keberhasilan Hamzah Fansuri dengan syair-syairnya keagamaan tidak 
terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang sufi yang telah 
mengelana mencari makrifat (uniomystika) ke Kudus, Banten, Siam, 
Semenanjung Melayu, India, Persia, dan Tanah Arab. Berbagai buku tasawuf
 dari sufi terkemuka dengan mudah ia kuasai kerana kemahirannya dalam 
berbahasa Melayu, Urdu, Persia, dan Arab. Dan tak sedikit pula 
sajak-sajak para sufi terkemuka Persia seperti Ibnu Arabi, Al-Hallaj, 
Jalaluddin Rumi, Al-Bustami, Maghribi, Nikmatullah, Abdullah Talil, 
Abdul Qadir Jailani, Iraqi, Sa’di, dan lain-lain itu ia kutip dalam 
bahasa aslinya, lalu ia terjemahkannya  ke dalam bahasa Melayu. Syair 
yang dihasilkannya menunjukkan bahawa dirinya sangat terpengaruh dan 
terilhami oleh Ibnu Arabi, tokoh aliran wujudiyyah.
Kedudukan Hamzah Fansuri begitu penting sekali kerana dialah penyair 
pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu empat abad silam. 
Sumbangan besarnya bagi bahasa Melayu adalah asas awal yang 
dipancangkannya terhadap peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di
 dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia, dan Turki Utsmani.
Hamzah Fansuri banyak mendapat asupan ilmu di Zawiyah/Dayah Blang Pria 
Samudera/Pasai, Pusat Pendidikan Tinggi Islam yang dipimpin oleh Ulama 
Besar dari Persia, Syekh Al-Fansuri, nenek moyangnya Hamzah. Kemudian 
Hamzah Fansuri mendirikan Pusat Pendidikan Islam di pantai Barat Tanah 
Aceh, iaitu Dayah Oboh di Simpang kiri Rundeng, Aceh Singkil. 
Kedalaman ilmu yang dimiliki telah mengangkatnya ke tempat kedudukan 
tinggi dalam dunia sastera Nusantara. Prof Dr Naguib Al-Attas menyebut 
“Jalaluddin Rumi”nya Kepulauan Nusantara,  yang tidak terbawa oleh arus 
roda zaman.
Penyair sufi, sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam, 
luapan emosi cinta kepada kekasihnya, Al-Khaliq, Allah Yang Maha Esa. 
Rindunya dengan sang Khaliq menjadikannya sebagai Insan Kamil hatta 
tiada lagi pembatas antara dia dan Khaliqnya, karena jiwa telah menyatu 
ke dalam diri kekasih yang dirindukannya, seperti makna implisit dalam 
hadits Qudsi riwayat Thabrani :
”Hambaku selalu menghampiriKu dengan ibadah-ibadah yang sunat sehingga 
Aku cinta kepadanya. Bila demikian, Aku menjadi pendengarannya yang 
dipergunakannya untuk mendengar, pemandangannya yang dipergunakan untuk 
memandang, lisannya untuk berbicara dan hatinya untuk berpikir.” 
Oleh kerana itu dalam karya tulis Hamzah Fansuri seakan-akan mendengar 
dengan telinga Khaliqnya, memandang dengan mata Khaliqnya, berbicara 
dengan lisan Khaliq nya. Tentu saja hal ini sangat sukar dimengerti dan 
difahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran
 dan filsafat Ulama Tasawuf atau penyair sufi. Cakerawalanya yang sejauh
 ufuk langit telah menghangatkan syair-syair padat dan berisi penuh 
dengan butir-butir filsafat, tetapi menawan hati untuk menguak makna 
yang terkandung.
Di antara karyanya yang ekstentik itu adalah Syair Burung Perahu, Syair 
Burung Pingai, Syair Burung Unggas, Syair Perahu dan Bismilllahir 
Rahmanir Rahim. Menurut A.Hasjmy, meskipun ia menganut falsafah Tuhan 
(Wahdatul Wujud), ia menolak faham hulul, faham keleburan 
selebur-leburnya dengan Tuhan : 
Aho segala kita umat Rasuli
Tuntut ilmu hakikat al-wusul
Karena ilmu itu pada Allah qabul
I’tiqad jangan ittihad dan hulul.
Ulama dan pujangga Islam Nusantara tersohor Hamzah Fansuri meninggal 
pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M)